Iklan

terkini

Macan Ompong di Tambang Bombana: Saat Alat Berat Berderu, Hukum Malu-Malu

Agha_sebasta
, Mei 10, 2025 WIB Last Updated 2025-05-10T14:26:15Z

Foto ; Salfin Tebara, S.Ap. (Kabid Informasi & Komunikasi HIMA Sultra–Jakarta)

Oleh : Salfin Tebara, S.Ap. (Kabid Informasi & Komunikasi HIMA Sultra–Jakarta)_

reaksipublik.com, - Negeri ini tak kekurangan aturan yang kurang cuma nyali menegakkannya. Delapan belas bulan lalu, tepat 8 Juli 2024, publik sempat bertepuk tangan, enam unit alat berat PT. Panca Logam Makmur (PLM) diangkut Polda Sultra dalam razia tambang ilegal. Kamera berkilat, jargon penegakan hukum disuarakan, dan rakyat di Desa Wumbubangka berharap hutan mereka akhirnya bisa bernapas.



Nyatanya, harapan itu tak berumur panjang. Cepat sekali sang “tersangka” bangkit—bahkan lebih garang. Tercatat, 8 April 2025, ekskavator baru kembali mencabik lereng Rarowatu Utara. PLM masih tak kantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), belum mengantongi RKAB sah, dan menunggak PNBP sejak 2022. Namun roda besi tetap bergulir dengan pengawalan oknum aparat.



Hukum yang Selektif: Tumpul ke Atas, Garang ke Bawah



Mari jujur, penertiban 2024 kini tampak seperti panggung teatrikal, sekadar menenangkan opini sesaat. Bila benar-benar serius, seharusnya:

1. Barang bukti disegel hingga putusan incracht. Fakta di lapangan alat berat baru justru berdatangan.

2. Izin lingkungan & PPKH diverifikasi ketat. Realita, PLM diduga tetap mengeksploitasi kawasan hutan produksi terbatas.

3. PNBP dipaksa lunas sebelum aktivitas berlanjut. Kenyataannya, tunggakan 2022–2025 dibiarkan menggantung.



Saat prosedur hukum tidak menyentuh akar masalah, penertiban berubah hanya kosmetik. Hukum terkesan “tumpul ke korporasi, tajam ke masyarakat.” 



Warga yang menolak tambang disebut “penghambat investasi”; aparat lokal yang mestinya melindungi justru berdiri di sisi pengeruk tanah.



Di Mana Polres Bombana?



Kapolres Bombana seolah memakai kacamata kuda,  melihat pelanggaran lalu membiarkannya lewat. Padahal Pasal 56 KUHP jelas pembiaran dapat dipersamakan dengan turut melakukan kejahatan. 



Cukup sudah janji-janji “pemetaan,” “koordinasi,” “klarifikasi.” Kompensasi suara mesin PLM di tengah hening malam sudah terlalu nyaring jadi alarm. Tetapi alarm itu, ajaibnya, tak terdengar di markas.



Warga Wumbubangka bukan sekadar “pihak ketiga”; mereka adalah tuan rumah sah hutan itu. Ketika air keruh, debu menempel di paru, dan lahan tertimbun lumpur, siapa yang menanggung? Bukan direktur PLM yang tidur di hotel bintang empat, melainkan petani yang menggantungkan hidup pada sepetak lahan dan mata air.



Kapolri, Diminta Jangan Tutup Mata



Kepala Kepolisian RI mesti turun tangan. Evaluasi Kapolres Bombana bukan soal pencitraan, melainkan integritas institusi. Bila Kapolri diam, publik melihat persekongkolan bukan sebagai “oknum,” melainkan pola. Dan saat masyarakat percaya hukum bisa dibeli, di situlah negara benar-benar kalah.



Langkah konkret yang ditunggu:



Audit independen terhadap seluruh penanganan perkara PLM, Rotasi personel yang diduga terindikasi bermain mata, Transparansi proses penyelidikan ke publik.



Tanpa itu, jargon Presisi hanya akan jadi akronim kosong, tak lebih tajam dari bulu ayam.



Negara Kehilangan Dua Kali


1. Kehilangan penerimaan negara. Tunggakan PNBP puluhan miliar lenyap begitu saja.

2. Kehilangan kepercayaan publik. Sekali rakyat yakin hukum memihak kapital, legitimasi aparat rontok.



Memungut PNBP pasca-panen emas bagaikan meminta maling mengembalikan barang curian. Lebih baik hentikan kerusakan sejak dini: cabut izin, sita hasil tambang, pidanakan penanggung jawab, dan restitusi lingkungan.



Jalan Keluar: Tegakkan atau Tinggalkan


Moratorium total aktivitas PLM hingga izin lengkap & tunggakan lunas.

Audit lingkungan oleh lembaga independen, libatkan masyarakat adat.

Penerapan Pasal 162 jo. 98 UU No. 32/2009 (Pidana Lingkungan) & Pasal 17 UU No. 3/2020 (Minerba) untuk efek jera.

Restorasi kawasan dibiayai penuh oleh korporasi—bukan APBN.



Jika pemerintah serius mengejar target net-zero 2060, Bombana harus jadi bukti, bukan pengecualian.



Tambang ilegal di Bombana bukan sekadar polemik izin; ini tes lakmus keberpihakan negara. Selama alat berat dibiarkan merangsek hutan tanpa izin, selama aparat berdiri sebagai pagar makan tanaman, maka hukum adalah macan ompong yang kehilangan taring.



Rakyat Sultra menunggu tindakan, bukan pernyataan. Bila hukum benar-benar sakti, biarkan taring itu menggigit, bukan hanya menggertak.



Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Macan Ompong di Tambang Bombana: Saat Alat Berat Berderu, Hukum Malu-Malu

Terkini

Iklan