![]() |
| Foto: Aksi Mahasiswa Maluku Menghugat di KPK RI |
JAKARTA– Kasus dugaan tambang ilegal kembali mencuat, kali ini menyeret nama PT Bina Sewangi Raya (BSR) dan Direktur Utamanya, Jacqueline Sahetapy. Sorotan muncul setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI pada 10 Juli 2025, di mana terungkap praktik pengapalan material tambang dengan tiga kapal tongkang tanpa izin dari pemegang sah Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Padahal, putusan Mahkamah Agung No. 326 PK/Pdt/2024 sudah menegaskan siapa pihak legal yang berhak mengelola tambang. Putusan itu final dan mengikat. Fakta bahwa PT BSR masih beroperasi justru memperlihatkan betapa rapuhnya penegakan hukum di sektor tambang.
Lebih jauh, operasi tambang di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, tidak hanya bermasalah dari sisi legalitas. Dampak ekologis mulai nyata: hutan digunduli, resiko longsor meningkat, laut sekitar lokasi pengapalan tercemar. Negara bahkan disebut kecolongan miliaran rupiah karena penjualan ore nikel tidak tercatat dalam sistem perpajakan dan retribusi resmi.
Melihat kondisi ini, Gerakan Mahasiswa Maluku Menggugat (3M) melancarkan aksi di depan KPK dan PPATK pada Senin, 25 Agustus 2025. Mereka menuntut lembaga antikorupsi tidak lagi diam.
“BSR beroperasi tanpa dasar hukum jelas. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi praktik tambang ilegal yang merugikan negara dan merusak lingkungan,” tegas Jufri R, Koordinator Aksi 3M.
Ia juga menuding perusahaan tersebut sengaja menghindari kewajiban pajak.
“Ini jelas permainan kotor. Pajak tak dibayar, negara rugi miliaran, sementara perusahaan terus meraup keuntungan,” katanya.
Mahasiswa menyoroti lambannya respons KPK dan PPATK terhadap kasus ini. Mereka khawatir, bila dibiarkan, praktik seperti ini akan menjadi preseden buruk dan membuka ruang bagi mafia tambang lain.
“Kalau KPK dan PPATK serius bicara pemberantasan pencucian uang, kenapa kasus ini belum ditangani tuntas? Jangan sampai lembaga negara hanya jadi penonton,” pungkas Jufri.
