![]() |
| Hayoto |
Penulis: eder Hayoto, Ketua bidang Pengembangan Aparatur Organisasi
SBT – Perbincangan soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) kerap menjadi isu sensitif dalam demokrasi lokal. Relasi antara birokrasi dengan kekuasaan politik memang tidak pernah sederhana. Hal ini kembali mencuat setelah sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) hadir dalam pelantikan pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Provinsi Maluku, yang dipimpin langsung oleh Bupati SBT, Fahri Husni Alkatiri.
Publik pun mempertanyakan: apakah kehadiran OPD dalam forum partai politik itu bisa dianggap sebagai pelanggaran asas netralitas ASN?
Gerakan Pemuda Islam Maluku, melalui pernyataan Heder Hayoto, menilai bahwa kehadiran OPD tidak serta merta dapat disamakan dengan keterlibatan dalam politik praktis. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, khususnya Pasal 15 dan 16, jelas ditegaskan bahwa ASN dilarang menjadi pengurus partai politik, memberikan dukungan kepada calon presiden, kepala daerah, maupun legislatif.
Namun, aturan tersebut tidak melarang ASN hadir dalam kegiatan partai selama tidak ada keterlibatan aktif. Bentuk keterlibatan aktif yang dimaksud antara lain: menggunakan atribut partai, menyampaikan dukungan politik, ikut berkampanye, menandatangani komitmen politik, atau terlibat dalam pengambilan keputusan partai.
Dalam kasus pelantikan DPW PKS di Ambon pada 24 Agustus 2025 lalu, kehadiran OPD bersifat pasif dan protokoler. Tidak ada bukti bahwa ASN menunjukkan simbol partai, berkampanye, atau mengeluarkan pernyataan dukungan politik. Artinya, kehadiran tersebut lebih tepat dipahami sebagai bagian dari fungsi representasi pemerintahan daerah.
Secara akademik, birokrasi memang tidak bisa benar-benar steril dari dinamika politik lokal. ASN bekerja dalam sistem pemerintahan yang dipimpin oleh kepala daerah, yang secara konstitusional merupakan aktor politik. Dalam kerangka itu, kehadiran OPD kerap bersifat struktural, mengikuti protokol resmi, dan tidak otomatis mencerminkan keberpihakan politik.
Max Weber, dalam teori klasiknya, menekankan bahwa birokrasi idealnya bekerja secara profesional, netral, dan teknokratis. Namun, dalam konteks politik lokal Indonesia, garis batas antara birokrasi dan politik sering kali kabur. Karena itu, menilai kehadiran ASN dalam acara pelantikan partai politik harus dilakukan dengan hati-hati.
Gerakan Pemuda Islam menegaskan, tanpa adanya bukti tindakan politik aktif, menuding ASN melanggar netralitas justru berpotensi mengaburkan perbedaan antara etika formal dan fungsi representatif pemerintahan.
Dengan kata lain, kehadiran OPD dalam acara tersebut lebih tepat dipandang sebagai manifestasi protokoler pemerintahan, bukan ekspresi dukungan politik.
